Showing posts with label Planologi Wilayah. Show all posts
Showing posts with label Planologi Wilayah. Show all posts

Thursday, January 31, 2013

Latar Belakang Munculnya Pedagang Kaki Lima

Latar Belakang Munculnya Pedagang Kaki Lima

Kebijakan pembangunan yang mengabaikan sektor pertanian berakibat pada stagnasi atau tidak memadainya pertumbuhan pendapatan di daerah perdesaan. Hal ini juga dibarengi dengan kebijakan mengimpor teknologi padat modal secara besar-besaran untuk mencapai industrialisasi. Ribuan petani di perdesaan kehilangan lahan karena diterapkannya mekanisme pertanian sebelum waktunya, atau karena lahan pertanian yang semakin sempit, sehingga kesempatan yang lebih besar dimiliki kota untuk berusaha mengakibatkan terjadinya urbanisasi. Dorongan utama bermigrasi dari desa ke kota ini adalah untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik (Todaro dan Stilkind, 1996). 


Namun demikian sektor modern berupa manufacturing dan industrialisasi tidak mampu menyerap angkatan kerja baik penduduk kota yang semula ada dan ditambah dengan penduduk pendatang. Kebutuhan untuk tetap bertahan hidup memaksa angkatan kerja untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal yaitu pedagang kaki lima. 


ilustrasi: mkgr.org
Perkembangan sektor informal terutama pedagang kaki lima menjadi semakin menjamur dikarenakan strategi pembangunan yang dilakukan secara keseluruhan lebih menekankan pada kebijaksanaan pembangunan yang dipusatkan diperkotaan dan mengabaikan pedesaan.


Kegiatan sektor pertanian dipedesaan akhirnya tidak dapat lagi menampung angkatan kerja yang terus berkembang, sehingga angkatan kerja yang ada melakukan migrasi ke kota dengan pengharapan mendapatkan pekerjaan dari sektor industri diperkotan. Penambahan angkatan kerja baik yang berasal dari kota itu sendiri dan ditambah dengan tenaga kerja yang berasal dari pedesaan (biasanya mereka merupakan tenaga kerja yang tidak memiliki keahlian khusus) tidak dapat ditampung oleh sektor industri yang ada. 

Faktor pendorong masyarakat untuk memilih berusaha pada pedagang kaki lima antara lain disebabkan karena; satu, pola kegiatan ekonomi perkotan yang cenderung menciptakan persaingan yang tidak imbang terhadap usaha kecil yang dilakukan ekonomi lemah; dua, keterbatasan sumberdaya (harta benda, keterampilan, permodalan dan informasi); tiga, terjadinya krisis moneter yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja sehingga banyak pekerja formal terpaksa berpindah ke sektor informal; empat, kesempatan kerja pada sektor informal terutama pedangang kaki lima terbuka lebar, karena penawaran/permintaan tenaga kerja tidak terbatas, sedangkan sektor formal kesempatan kerja tercipta karena adanya kenaikan permintaan atas barang dan jasa, yang besar kecilnya tergantung pada elastisitas pemakaian teknologi.

Sunday, January 27, 2013

Pedagang Kaki Lima

Pengertian Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima di Simpang Lima Semarang (copyright: Gaganawati)

Banyak pengertian tentang pedagang kaki lima. Pembaca pasti membayangkan jika pedagang kaki lima sering identik dengan korban penggusuran oleh satuan polisi pamong praja sebagaimana sering kita saksikan melalui pemberitaan di media elektronik. Ada yang mengartikan pedagang kaki lima ialah pedagang yang berada di antara kanan dan kiri lintasan manusia (kaki lima, kanan kiri lintasan manusia). Itu sih kata Dr. Slamet dari UNNES (Universitas Negeri Semarang, bukan Universitas Nan Nestapa seperti yang diplesetkan oleh mahasiswinya sendiri) ketika memberikan kuliah di kampus Jalan Hayamwuruk, Pleburan - Semarang. 

Pemahaman mengenai pedagang kaki lima dapat dilakukan dengan pemahaman definisi pedagang. Pedagang merupakan perorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan perniagaan secara terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan. Sedangkan pendekatan lain untuk memahami definisi pedagang kaki lima melalui pendekatan pemahaman pedagang informal. Pedagang informal merupakan perorangan yang tidak memiliki bentuk badan usaha yang tetap, yang melakukan kegiatan perdagangan. Pada umumnya, pedagang informal memiliki beberapa ciri spesifik antara lain:
1. mendasarkan diri pada sumberdaya lokal.
2. usaha secara kekeluargaan.
3. usaha berskala lecil.
4. bersifat padat karya.
5. teknologi yang digunakan bersifat sederhana dan sederhana dan adaptif.
6. keahlian diperoleh dari luar dari luar pendidikan formal.
7. tidak ada proteksi resmi dalam proses proses produksinya.
8. pasarnya bersifat kompetitif.

Contoh aktual dan realitas sebagai pedagang informal adalah: pedagang kaki lima, pedagang asongan, tukang cukur, penyemir sepatu dan sebagainya. Pedagang informal timbul karena beberapa hal, misalnya: sempitnya kesempatan kerja, sektor formal yang tidak berkembang, tingkat pendidikan angkatan kerja yang relatif rendah dan mendesaknya pemenuhan kebutuhan dasar.

Pedagang kaki lima didefinisikan sebagai setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, yang dilakukan cenderung berpindah-pinah dengan kemampuan modal yang terbatas serta berlokasi di tempat-tempat umum dengan tidak mempunyai legalitas formal, dimana kegiatan perdagangan dapat dilakukan secara berkelompok sesuai kultur yang dimiliki secara individu. Namun demikian, Hart (1996) lebih memandang pedagang kaki lima sebagai salah satu kesempatan untuk memperoleh penghasilan informal yang sah, yang termasuk dalamnya jenis usaha distribusi kecil-kecilan. Purwanto dalam Fachrudin (1998) membatasi pedagang kaki lima sebagai suatu bentuk aktivitas perdagangan yang tidak menetap dan bisanya berlokasi di jalur pejalan kaki. 


Pedagang kaki lima termasuk salah satu dari aneka ragam bentuk usaha sendiri dan pekerjan tak tetap yang ciri-ciri sosial ekonominya amat berbeda dan dikategorikan sebagai sektor informal (Effendi, 1995). Sedangkan Cahyono et all (1992), mendefinisikan pedagang kaki lima sebagai salah satu bidang usaha yang termasuk dalam sub bidang perdagangan dan sektor informal, dengan jumlah pedagang yang menunjukkan kecenderungan meningkat. Pedagang kaki lima dalam istilah bahasa asing adalah hawker yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual pada ruang publik, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Dalam pengertian ini termasuk juga orang yang menawarkan barang dan jasanya dari rumah ke rumah.



Ruang Aktivitas Pedagang Kaki Lima
          Dalam menetapkan lokasi bagi aktivitas usahanya,  sudah merupakan suatu kebiasaan yang umum terjadi bila pedagang kaki lima selalu menempatkan dagangannya pada trotoar dan bahu jalan, terutama dilokasi keramaian kota yang dipenuhi oleh pedagang kaki lima lainnya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Bromley (dalam Manning dan Effendi, 1996), terjadi karena pedangang kaki lima dalam memilih lokasi bagi aktivitas usahanya akan berusaha untuk selalu mendekati pasar atau pembeli. Mereka akan berusaha agar barang atau jasa yang dijual terlihat pembeli. Oleh karena itu mereka akan memilih lokasi-lokasi yang strategis dan menguntungkan di pusat kota atau di suatu lokasi yang merupakan aktivitas masyarakat. Sehingga kita jumpai kehadiran pegangang kaki lima di sekitar aktivitas perdagangan, pendidikan, perkantoran, dan aktivitas sosial masyarakat lainnya.
          Ciri tersebut merupakan bagian dari strategi pemasaran. Menurut William J. Stanton dalam Swastha (1986), pemasaran merupakan suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk merencanakan, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun yang potensial.
          Berkaitan dengan strategi pemasaran, seorang pedagang kaki lima dalam menjalankan aktivitas usahanya juga mempertimbangkan bagaimana posisinya terhadap pedagang lain. Hal ini yang dinamakan dengan struktur pasar. Menurut Pass dkk (1998), struktur atau bentuk pasar yang dihadapi oleh seorang pengusaha dalam teori ekonomi dapat diketahui dari ciri-cirinya. Ciri-ciri tersebut antara lain jumlah pembeli dan penjual, mudah tidaknya memasuki bidang bersangkutan, homogen atau tidaknya sifat dari barang yang dijual dimata pembeli, tingkat kesempurnaan dari pengetahuan pembeli dan penjual terhadap tingkat harga.
          Dalam menetapkan lokasi bagi aktivitas usahanya, informasi mengenai banyaknya pedagang sejenis atau menjual barang yang sama bagi pegangang kaki lima sangat penting. Hal ini akan mempengaruhi kualitas barang atau jasa yuang ditawarkan. Konsumen akan memilih barang atau jasa yang lebih baik dalam bentuk dan rasa. Sehingga biasanya pegangang kaki lima berjualan berdampingan dengan pedagang sejenis.
          Faktor lain yang mempengaruhi pedangang kaki lima dalam memilih lokasi usaha adalah ketersediaan transportasi. Transportasi ini bisa berdasarkan sudut pandang pedagang kaki lima itu sendiri atau dari pembeli. Aktivitas umum kota umumnya merupakan tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat dengan adanya transportasi yang memadai. Oleh karena itu sering kali adanya relokasi pedagang kaki lima oleh pemerintah kota yang kurang didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk sarana transportasi, kurang mendapat respon yang baik. Tempat yang baru tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai lokasi bagi aktivitas perdagangan. Akhirnya para pedagang kaki lima yang diberi lokasi tersebut pindah kembali ke lokasi yang lama (Kompas, 5 Juni 2001).

Fungsi Pelayanan Pedagang Kaki Lima
          Penentuan  jenis fungsi pelayanan dari suatu aktivitas pedagang kaki lima dapat ditentukan dari dominasi kualitatif jenis barang dan jasa yang diperdagangkan. Suatu lokasi aktivitas jasa sektor informal dapat memiliki lebih dari satu fungsi sekaligus. Paling tidak terdapat tiga macam fungsi pelayanan pedagang kaki lima yaitu :

1. Fungsi pelayanan perdagangan jasa
Aktivitas perdagangan jasa pedagang kaki lima merupakan bagian dari sistem perdagangan kota, khusunya dalam bidang perdagangan eceran. Pedagang kaki lima dalam hal ini berfungsi memasarkan hasil produksi barang dan jasa. Contoh dari fungsi ini, misalnya suatu saat Anda akan menemukan pedagang kaki lima yang menawarkan jasa menjahit sepatu, tas, duplikasi anak kunci, dan lain-lain.

2.  Fungsi pelayanan rekreatif
       Aktivitas jasa pedagang kaki lima memiliki fungsi sebagai hiburan yan bersifat rekreatif. Fungsi rekreatif ini dapat dari suasana pelayanan yang diberikan, misalnya lokasi di alam terbuka dapat dipandang sebagai tempat rekreasi, jalan-jalan, ngabuburit, “cuci-mata”, dan sebagainya.

3. Fungsi pelayanan sosial
       Aktivitas jasa pedagang kaki lima fungsi sosial ekonomi dilihat berdasarkan pandangan masing-masing pelaku yang terlibat didalamnya. Berdasarkan pandangan penjaja, maka aktivitasnya merupakan sumber pendapatan bagi peningkatan kesejahterahan. Bagi para pengguna, maka aktivitas jasa pedagang kaki lima sangat membantu dalam penyediaan barang dan jasa yang harganya relatif lebih murah dari pada toko atau department store. Sedangkan bagi pemerintah lokal aktivitas jasa pedagang kaki lima ini sedikit banyak dapat membantu dalam pemecahan masalah penyerapan tenaga kerja dan pemerataan kesejahteraan maupun pemberdayaan masyarakat.



Referensi:

Mc.Gee,T.G aand Yeung,Y.M. Hawkers In South East Asian Cities: Planning for The Bazaar Economy, International Development Research Centre, Ottawa, Canada, 1977



Sunday, April 4, 2010

Klasifikasi Kemiskinan Menurut Sumodiningrat

Definienda: Prof. Mubyarto (1994) mensinyalir bahwa kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang tidak dapat dihindari si miskin. Bank Dunia (World Bank) (1990) mendefiniskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar yang dimaksud adalah kebutuhan pangan, sandang dan properti (tempat tinggal).

Lebih lanjut Friedman,  mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi modal produktif, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, dan informasi yang berguna untuk memajukan hidup mereka. 

Soedarsono (2000) menyatakan kemiskinan sebagai struktur tingkat hidup yang rendah, mencapai tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibanding dengan standar hidup yang umumnya berlaku dalam masyarakat.

Klasifikasi Kemiskinan

Sumodiningrat (1999) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan dalam lima kelas yaitu :

  1. Kemiskinan absolut, apabila tingkat pendapatan seseorang berada di bawah garis kemiskinan atau pendapatannya jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang antara lain: kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja.
  2. Kemiskinan relatif, bila seseorang yang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya+
  3. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya meskipun ada usaha dari pihak luar yang berupaya membantu.
  4. Kemiskinan kronis, disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumber daya dan keterisolasian serta rendahnya taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan dari ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.
  5. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi. Perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, bencana lam atau dampak dari sutu kebijakan tertentu yang berkibat pada penurunan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Prof. Ginanjar Kartasasmita (1996), keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan, dan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. 

Kemiskinan secara absolut apabila pendapatannya lebih rendah dari garis kemiskinan absolut atau dengan kata lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut. 

Kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan masyarakat yaitu antara kelompok yang mungkin tidak miskin (tingkat pendapatannya lebih tinggi dari garis kemiskinan) dan kelompok masyarakat yang relatif lebih kaya.

Sunday, December 27, 2009

Sistem Transportasi

Sebelum membahas pendekatan sistem lebih lanjut, perlu diutarakan tentang pengertian sistem. Banyak ahli yang telah mendalami sistem sesuai dengan kebutuhannya sehingga definisinyapun beragam. Jogiyanto (2005:34) mendefinisikan sistem melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan prosedur dan pendekatan komponen. Dengan pendekatan prosedur, sistem didefinisikan sebagai kumpulan dari prosedur-prosedur yang mempunyai tujuan tertentu. Sedangkan dengan pendekatan komponen dapat didefinisikan sebagai kumpulan dari komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Sementara itu, menurut Prahasta (2005:37) sistem dapat didefinisikan sebagai objek, ide, berikut saling keterhubungannnya (interelasi) dalam mencapai tujuan atau sasaran bersama. Sistem juga dipandang sebagai suatu kumpulan objek yang terangkai dalam interaksi dan saling ketergantungan yang teratur (Gordon, 1995). Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem bermakna sebagai satu kesatuan yang terdiri dari komponen-komponen yang terikat dalam interaksi dan saling ketergantungan guna mencapai tujuan.

Selanjutnya pengertian mengenai sistem transportasi dapat dipahami melalui dua pendekatan yaitu: sistem transportasi menyeluruh (makro) serta sistem trasnportasi mikro yang merupakan hasil pemecahan dari sistem transportasi makro menjadi sistem yang lebih kecil yang masing-masing saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem transportasi mikro terdiri dari (Tamin, 2000):

1. Sistem Kegiatan
Sistem kegiatan atau tata guna lahan mempunyai jenis kegiatan tertentu yang akan membangkitkan pergerakan dan akan menarik pergerakan dalam proses pemenuhan kebutuhan. Sistem ini merupakan sistem pola kegiatan tata guna lahan yang terdiri dari sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Besarnya pergerakan sangat berkaitan dengan jenis dan intensitas kegiatan yang dilakukan.


2. Sistem Jaringan
Sedangkan sistem jaringan merupakan moda transportasi (sarana) dan media (prasarana/infrastruktur) tempat moda transportasi bergerak. Sistem jaringan meliputi: sistem jaringan jalan raya, kereta api, terminal bis, stasiun kereta api, bandara dan pelabuhan laut.


3. Sistem Pergerakan
Sistem pergerakan ditimbulkan karena interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan. Sistem pergerakan yang ada merupakan sistem pergerakan orang dan manusia.


4. Sistem Kelembagaan
Sistem kelembagaan merupakan instansi yang mengatur sistem transportasi beserta kebijakan-kebijakan yang mengaturnya.


Gambar  Sistem Transportasi Makro (Sumber: Tamim (2000)
Sistem kegiatan, sistem jaringan dan sistem pergerakan akan saling mempengaruhi. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan mempengaruhi sistem jaringan melalui perubahan pada tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga perubahan sistem jaringan akan dapat mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesibilitas dari sistem pergerakan tersebut. Sistem pergerakan memegang peranan penting dalam menampung pergerakan agar tercipta pergerakan yang lancar dan pada akhirnya juga pasti mempengaruhi kembali sistem kegiatan dan sistem jaringan yang ada dalam bentuk aksesibilitas dan mobilitas. Ketiga sistem mikro ini saling berinteraksi dalam sistem transportasi makro. Interaksi antar sistem tersebut dapat membentuk sistem transportasi makro yang dijelaskan dalam gambar berikut (Tamin, 2000).

Dengan demikian, sistem transportasi dapat dipahami melalui dua pendekatan yaitu: sistem transportasi menyeluruh (makro) serta sistem trasnportasi mikro yang merupakan hasil pemecahan dari sistem transportasi makro menjadi sistem yang lebih kecil yang masing-masing saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem tersebut terdiri dari: sistem kegiatan, sistem jaringan, sistem pergerakan dan sistem kelembagaan.

Referensi:

Davis, Gordon B., 1995, Management Information System, 7th Edition, New York: McGraw-Hill Book Company

Tamin, Ofyar. 2000. Perencanaan dan Permodelan Transportasi. Bandung: Penerbit ITB.